http://www.sarapanpagi.org/dapatkah-amal-ibadah-manusia-menghapus-dosanya-vt659.html#p1524
Menjawab "salah-paham" :
Dapatkah usaha-amal-ibadah manusia menghapuskan dosanya?
Bandingkan usaha Anda Vs Adam & Hawa
Kita telah menyepelekan dan menyelewengkan makna dosa jauh dari pemaknaan Allah.
Kita telah menciptakan sendiri definisi dan pembenaran kita. Dosa kita dangkalkan dengan sejenis kekeliruan, salah paham, dan ketidak-sengajaan. Itu adalah strategi setan yang berhasil diwujudkan dalam kehidupan kita.
Dimana-mana orang gampang mencari alasan atas perbuatan jahatnya. Kesombongan diplintir maknanya menjadi "kebanggaan" atau "prestasi". Pencurian didalihkan perbuatan keterpaksaan karena kekurangan dan kelaparan. Praktek korupsi dibenarkan karena merasa belum cukup/ merasa berjasa/ merasa berhak atas fasilitas yang dipegangnya "semua orang melakukannya, masak kita tidak?". Pembohongan dianggap sebagai survival, menguntungkan, tak terelakkan, "apa boleh buat". Pembunuhan didalihkan pembalasan/ mempertahankan diri, perlawanan terhadap penzaliman, menghancurkan kemaksiatan kafir, perjuangan suci, ticket masuk surga dll.
Itu semua bukti pelecehan, pereduksian/ pendangkalan dan pemelintiran kita tentang dosa. Namun Allah sebaliknya dari kita! Ia amat serius terhadap sebutir dosa terkecilpun. IA MAHA KUDUS. Ia tidak main-main dengan istilah dan makna DOSA. Allah dalam takhta ke-Maha-Sucian-Nya tidak terdekati dengan secuil najispun. Ia menetapkan bahwa upah dosa adalah maut! (Roma 6:23). Itulah harga dosa yang harus kita bayar. Tidak ada toleransi terkecilpun terhadap dosa, walau amat mengasihi makhluk ciptaanNya yang jatuh dalam dosa.
Timbangan dosa semikron Vs Kesucian Absolut
Terbiasa dengan ukuran-ukuran manusia dalam menimbang-nimbang manfaat dan mudarat serta pemberian nilai, porsi, dan bobot, lalu kita menyamakannya seolah-olah Allah juga melakukan penimbangan dan pencatatan yang mirip dalam timbangan Al-Hayat atas setiap perilaku manusia.
Dan tatkala timbangannya menunjukkan 50.1% (porsi baik) lawan 49.9% (porsi jahat) untuk seseorang, maka orang tersebut "seolah pantas" dilayakkan memperoleh keselamatan. SALAH!
Tuhan yang Maha Suci, Maha sempurna dan Absolut itu mustahil membenarkan 49,9% kejahatan, bahkan tidak seper-semikron sekalipun! Bukankah prestasi kebaikan-kebaikan kita yang segudang tidak membenarkan kita untuk melakukan satu perbuatan amoral?
Dan prestasi "kesalehan" kita yang segunung pun tidak memberi kita hak untuk berbuat satu kemesuman yang tersembunyi? Dan secara analogi, bukankah sepiring makanan yang prosi atau kadar haramnya 1% dan halalnya 99%, tetap merupakan sepiring makanan yang haram 100%?
Dihadapan Allah yang Maha-Suci dan Benar secara Absolut, maka setitik dosa adalah ibarat segunung raksasa kenajisan yang memisahkan diri Anda dari hadiratNya. Dihadapan Allah, dosa tidak pernah diperlakukan menurut "hukum-proporsi", melainkan "hukum-esensi" : "Sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan" (1 Korintus 5:6).
Dan Allah tidak akan pernah benar jikalau Ia tidak menghukum dosa Anda yang setitik itupun, apapun latar belakang Anda.
Siapakah yang lebih taat dan saleh, Anda atau Adam?
Kita menyadari bahwa dosa yang paling berbahaya adalah jikalau kita menggab diri kita sebagai orang yang baik dan saleh (lalu melabrak orang-orang yang dianggap "kalah saleh" atau membakar rumah yang dianggap maksiat). Kesalehan yang tidak saleh ini telah diperingatkan wanti-wanti dalam Alkitab " ada orang saleh yang binasa dalam kesalehannya (Pengkotbah 7:15).
Perhatikan, bahwa Allah melarang kita berdusta, congkak, bernafsu/rakus, berzinah, mencuri/korupsi, mementingkan diri sendiri, menghina, bertengkar, munafik, iri hati, marah/benci, dendam, kejam, memeras, memfitnah, memberontak, membunuh, tidak taat, tidak-setia, putus-asa, dll. Apakah kita mampu mengosongkan semua ini dari diri kita secara murni?
Bukankah bahkan didalam setiap tindak-kebaikan kita, masih akan terselip kejahatan dan kesalahan? Misalnya, ketika memberi/ sedekah kita diam-diam mengharapi pujian; ketika bersembayang kita ngelantur (riya); ketika berkotbah kita tidak berperilaku seperti yang dikotbahkan, ketika menolong kita mengharapkan (bahkan menuntut) pamrih, dll. Singkatnya, ketika kita berbuat jahat maka betul kita berbuat jahat, namun tatkala kita berbuat baik-pun masih terselip perbuatan-perbuatan jahat. Maka adakah satu hari di dunia nyata ini dimana kita tidak menjadi orang berdosa dalam arti kata yang termurni?
Allah amat serius terhadap dosa, menurunkan 2 hukum terhadap pelaku dosa :
Pertama, "upah dosa adalah maut" (Roma 6:23)
Kedua, Hukum-esensi – bukan hukum-proporsi. Biarpun amal-ibadah diwujudkan miliara kali, tetapi dengan menolak hukum Allah 1x saja maka Anda telah berdosa terhadap keseluruhan hukum Tuhan (Yakobus 2:10).
Sekarang, kita perlu jujur menjawab : bagaimana tingkat ketaatan dan kesalehan kita terhadap hukum-Tuhan dibandingkan dengan yang ditujukan oleh Adam dan Hawa ketika mereka masih di Taman Eden?
Ini perlu dibandingkan, karena Adam dan Hawa sesungguhnya telah menaati 100% setiap hari, setiap saat secara taat mutlak di Taman Eden, tetapi dengan 1 kali saja ia melanggar Hukum, maka sekaligus mereka terkutuk sebagai manusia yang binasa, dan harus dikeluarkan dari hadirat Allah yang Maha-Suci. Jikalau Adam-Hawa telah mendapat murka Allah karena 1 kali saja melanggarNya, maka seberapa besar murka Allah yang harus dikenakan kepada Anda dan saya yang telah melangar hukum-hukumNya setiap saat?
Meski buku "Timbangan-Hayat" Adam di Taman Eden masih berneraca positif ketimbang negatifnya, namun Adam telah sekaligus "di-disqualified" dan menjadi najis dalam hadirat Allah yang kudus. Ketaatannya menuurti Hukum yang sudah dijalani bermasa-masa, tidak menolong apapun, sekali ia tidak setia! Jadi, jikalau segudang "pahala dan ibahdah" yang tercemar setitik dosa ternyata tidak menolong seorang Adam, lalu apakah itu akan menolong seorang Anda atau seorang Saya?
Iman Kristen mengakui ketiada-bedaan manusia menghadapi dosa. Kita adalah budak-dosa. Walau kita sesekali atau seringkali berbuat baik, toh hal-hal ini tidaklah memerdekakan diri kita dari budak dan kutukan maut dosa. Seorang budak bermeterai budak. Status ini tidak bisa dihapuskan dari dirinya sendiri, kecuali lewat penganugerahan majikannya.
Dengan sebuah pelanggaran saja, kita akan dihakimi dan dihukum (Roma 5:16) terlepas dari seribu/ sejuta kali tidak melanggarnya. Ini berarti bahwa dosa kitalah yang akan meng-offset (menghapus) semua amal-pahala kita, dan bukan sebaliknya seperti yang dianggap banyak orang bahwa "amal-pahala" yang meng-offset dosa yang kita perbuat[i]". Bila pahala sanggupmeng-offset dosa artinya tindakan insani manusia mampu mengubah posisi surgawi, maka sungguh Allah selalu ditempatkan dipihak yang "[i]berhutang budi" atas amal dan jasa manusia. Bahkan bisa-bisa Allah tidak diperlukan lagi sepanjang kita ber-amal jasa lebih banyak!
Singkat kata, bila perbuatan-perbuatan amal-pahala daris eorang berdosa tidak dapat mengapuskan kutukan insani yaitu "susah-payah-sedih-sakit-mati badani", lalu atas dasar apa maka perbuatan tersebut mampu meniadakan kutukan rohani, yaitu "kultur dosa, dan budak dosa dan KEMATIAN rohani" seseorang?!
Tidak latar belakang keluarga Anda, pendidikan Anda, kekayaan Anda, pekerjaan Anda, perbuatan Anda, seluruh latar belakang dan reputasi Anda, yang bisa menghidupkan kematian Anda! Apa yang Anda punyai atau apa yang Anda perbuat, tidak menolong ancaman kematian jasmani, maka apagi kematian rohani!
Itulah sebabnya walau agama menyerukan umatnya berbuat segala ibadah amal-jasa, tetapi dengan berbuat baik sekalipun, tidak akan mendapat kepastian untuk masuk Surga!
Kita melakukan perbuatan-perbuatan baik, bukan untuk "membeli" keselamatan, melainkan justru sebagai buah keselamatan! Yaituujud bersyukur dan terima kasih kita kepada Sang Juruselamat, yang terlah mengkaruniai kita dengan keselamatan yang pasti, yang tidak bisa kita peroleh dari hasil usaha-diri! :
* Efesus 2:8-9
2:8 Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,
2:9 itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.
* 2 Korintus 9:15
Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!
Blessings,
BP
September 14, 2006______________
http://www.sarapanpagi.org/bukankah-allah-bisa-mengampuni-saja-vt220.html#p466
BUKANKAH ALLAH BISA MENGAMPUNI SAJA?
APA PERLUNYA ALLAH MENYERAHKAN NYAWA YESUS UNTUK PENEBUSAN DOSA?
MENGAMPUNI?
Apa yang ada dalam benak anda dengan istilah “mengampuni” ?
Yesus mensyaratkan pengampunan dalam arti yang amat mendasar, yaitu keharusan bagi si pengampun untuk membayar harga, harga tebusan!
Allah yang Maha Kuasa memang berkuasa mengampuni kita di setiap waktu, namun dosa kita tidak bisa diampuni begitu saja karena Allah juga Adil, dan konsekwen dengan hukum-pokok keadilanNya adalah Dia harus menghukum setiap dosa yang kita perbuat.
Di satu pihak Allah itu Maha Kasih, mau dan bisa mengampuni. Tetapi di lain pihak Allah itu Maha Adil, apabila hanya sekadar“melupakan” atau “membiarkan” kesalahan seseorang tanpa mempertanggung-jawabkannya dengan suatu harga, yaitu yang disebutpenebusan.
Anda bertanya, mengapa ada harga yang terlibat?
Ya, pemahaman kita atas Azaz Pengampunan cenderung larut menurut arti populer saja, bukan arti murninya.
Untuk mencernakannya kembali, kini pikirkanlah ada seorang anak Anda yang berbuat dosa terhadap Anda, misalnya ia memberontak dan membakar tas kantor Anda. Anda-pun marah. Mengapa?
Karena anda merasa dirugikan oleh perbuatan tersebut. Akhirnya sang anak sadar akan perbuatan kesalahannya dan minta pengampunan, dan anda rela mengampuninya.
Mengampuni adalah rela membayar harga tebusan
Ketika anda rela mengampuninya, itu IDENTIK dengan anda rela menyedot dan membayar harga kerugian yang tadinya anda rasakan, yaitu kerugian moril maupun materiil. Anda mengampuninya dengan jalan menebus harga tersebut! Jadi, dalam setiap pengampunan ada harga yang harus dibayar, yang menuntut suatu penebusan!.
Kini, karena sudah ditetapkan Allah sendiri bahwa setiap pelaku dosa harus dihukum mati dalam kekekalan (dengan istilah “upah dosa adalah maut”, Kejadian 2:17, Roma 6:23), maka manusia tidak mungkin bisa membayar harga sebesar itu dengan usaha amal-ibadah atau cara apapun. Itu sama halnya dengan hukuman mati di pengadilan yang tak bisa dilunaskan dengan jasa apapun yang pernah dibuat oleh si terhukum!
Diperlukan pertolongan dan kekuatan dari luar sebagai penyelamat atau penebus.
Dicontohkan satu kasus tebusan sebagai berikut :
Ada cerita tentang seorang wanita muda yang tertangkap di diskotik ketika sedang diadakan razia narkoba oleh aparat negara. Ia dihadapkan ke meja-hijau. Jaksa penuntut membacakan dakwaan dan tuntutan. Maka, sang Hakim-pun bertanya kepada si tertuduh : “Anda bersalah atau tidak bersalah?”
Gadis tersebut mengaku bersalah, minta ampun dan ingin bertobat. Namun sang Hakim yang adil itu tetap mengetuk palunya mendenda Rp. 10,000,000.-- atau penjara 3 bulan. Tiba-tiba terjadi hal yang mengagetkan semua orang dalam sidang tersebut. Sang Hakim turun dari kursinya sambil membuka jubahnya. Ia segera menuju kursi si terhukum, mengeluarkan uang 10juta dari tas-nya untuk membayar denda si gadis. Mengapa? Ternyata sang hakim tersebut adalah bapak dari si gadis. Walau bagaimanapun cinta yang bapak kepada anak-gadisnya, ia tetaplah Hakim yang adil dan tidak bisa berkata : “Aku mengampuni kamu, karena kamu menyesal dan bertobat”. Atau mengatakan : “Karena cintaku kepadamu, maka Aku mengampuni kesalahanmu”.
Hukum keadilan tidak memungkinkan sang Hakim mengampuni dosa anaknya dengan sesukanya “tanpa prosedur harga”. Maka ia yang begitu mengasihi anaknya bersedia turun dari kursi dan menanggalkan jubah kehakimannya, lalu menjadi wali untuk membayar harga denda. Inilah jalan satu-satunya bagi seorang hakim yang adil untuk memberi pengampunan bagi seorang terhukum yangdikasihinya
Dan inilah analogi untuk Yesus Kristus yang menanggalkan jubah keilahianNya dan turun ke dunia menjadi manusia demi untuk membayar harga MAUT di kayu salib, yang tidak sanggub dibayar oleh si pendosa sendiri yang sudah terhukum mati. Yesus telah mengatakannya secara lurus, tanpa usah tafsiran, bahwa ‘Anak Manusia (Yesus) datang untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan (nyawa) bagi banyak orang’ (Markus 10:45).
Maka hak-qisas (hukum pembalasan yang setimpal) terhadap hutang nyawa, kini dipenuhi dalam kematian Yesus bagi manusia :“nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan… luka ganti luka, bengkak ganti bengkak” (Keluaran 21:24). Demi menebus kematian Anda dan saya!.
Allah bebas tidak terbatas? Menghalalkan segala cara demi kasihNya
Disini, teologi agama-agama yang tidak mengenal konsep penebusan Yesus (tidak mengimani anugerah Ilahi), melainkan hanya menganal konsep usaha diri dalam mencari ridha Allah lewat ibadah-amal-pahala, akan menemui dilema yang besar. Mereka tidak mempunyai cara apapun untuk merekonsiliasikan kedua sifat Allah yang saling menentang, yaitu Maha Kasih versus Maha Adil.
Bagaimana Allah bisa-bisanya Maha Kasih (yang mengampuni dosa), padahal Ia juga Maha Adil(yang menghukum dosa), sungguh kontradiktif!
Sebab, jikalau Allah menghalalkan diriNya secara bebas dalam mengampuni, semata-mata karena Ia Maka Pengasih dan penyayang, maka tentulah Ia Non-Adil, karena berkolusi, dengan tidak menghukum dosa yang seharusnya tidak dihukum. Pengampunan model begini adalah keputusan tanpa dasar apapun kecuali sewenang-wenang. Allah yang Maha Adil, Maha Benar dan Suci itu sungguh tidak bisa begitu saja menyebut “putih” atas sesuatu yang sebenarnya “hitam”. Hukum dan Jalan Allah itu lurus, dan itu yang menjadikan diri Allah terbatas, karena Ia tidak bisa keluar batas dengan mengingkari diriNya sendiri :
*2 Timotius 2:13
jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Dia tidak dapat menyangkal diri-Nya.
Walau demikian, masih banyak orang menafsirkan bahwa Allah itu adalah Pencipta Hukum. Jadi Dia berdaulat dan berdiri sepenuhnya diatas hukum, tidak ada yang bisa membatasi Allah!.
Namun, Alkitab menjelaskan bahwa Tuhan “dibatasi” oleh hakikat keberadaanNya sendiri, bukan oleh pihak luar manapun. Dia sepenuhnya dapat dipercaya dan konsisten dengan Apa yang diucapkanNya. Dia selalu berkiprah dalam jalur/ batas ucapan dan hukumNya.
Dia tidak berdiri di atas Hukum.
Melainkan diriNya adalah HukumNya, dan HukumNya adalah diriNya.
Dia tidak berubah, dahulu, sekarang dan selamanya!
Maka, Firman Allah itu selalu benar dan kekal, tak ada ayat-ayat susulan yang bisa membatalkan atau menggantikan ayat-ayat terdahulu. Allah yang Maha Tahu dan Benar tidak mengkoreksi diriNya sendiri, dengan alasan apapun!
Makin Dia mengkoreksi, dan makin memberi alasan, makin bukan Allah-lah Dia.
Blessings,
BP
November 30, 2005
Sumber :
Samawi Tada, Yesus Menyaksikan Yesus, Reach Catalog.
Dan beberapa sumber lain _______________
http://www.sarapanpagi.org/apa-perlunya-yesus-datang-ke-dunia-vt216.html#p414
PENEBUSAN DOSA MENURUT PAK BP
18.46 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar